18 Desember 2008

Hakikat Ubudiyyah oleh HM. Anis Masduki, Lc.

Pada akhirnya manusia perlu berpikir kembali mengenai hakikat dirinya yang paling dalam. Hakikat manusia tak lain adalah mahluk yang diciptakan Allah SWT dengan sebaik-baik bentuk. Selanjutnya manusia juga perlu berpikir kembali mengenai perannya sebagai mahluk di bumi yang tak lain adalah memainkan peran kehambaannya (ubudiyyah) kepada Allah SWT. Dalam khazanah sufisme Islam ada dua prinsip ubudiyyah yang harus diperankan manusia yaitu sabar dan syukur. Sabar ketika menerima cobaan hidup dan syukur ketika mendapatkan nikmat hidup. Keduanya adalah prinsip hidup yang dengannya manusia akan melesat naik kederajat ubudiyyah yang paling hakiki. Atas dasar keduanya lah kemudian dalam hidup ada kesedihan dan kebahagiaan, ada keharuan dan kesenangan, ada kedukaan dan kesukaan, ada kerugian dan keberuntungan, begitu juga ada kemiskinan dan kemewahan. Tidak lain karena Allah SWT perlu menguji hambanya dengan fenomena-fenomena kontradiktif itu. Dan tak lain karena sabar dan sukur memerlukan sebab. Manusia diharapkan bersyukur ketika menerima kondisi nikmat hidup dan bersabar ketika dihadapkan pada kondisi kesengsaraan. Jika hidup hanya mengenal nikmat saja, tentu prinsip ubudiyyah yang berupa sabar tak cukup bermakna.
Dan sebaliknya jika hidup ini adalah rangkaian kesengsaraan saja maka prinsip syukur tak menemukan relevansi yang kuat. Padahal kedua prinsip ini harus ada sebagai wujud manifestasi kehambaan manusia kepada Penciptanya.
Selanjutnya kita perlu memikirkan kembali ayat Al Quran dalam Surat Al Zumar ayat 10 yang berbunyi 10 “Katakanlah: "Sesungguhnya Hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". Kenapa Allah SWT memberikan posisi yang sedemikian tinggi kepada orang-orang yang bersabar di atas orang-orang yang bersyukur? Jawabannya adalah karena syukur tidak mungkin ada tanpa dilandaskan kepada prinsip sabar. Bersyukur ketika menggapai nikmat tidak akan ada kecuali melalui proses sabar. Jika kita menduga bahwa makna syukur adalah ekspresi kata-kata dengan mengucapkan al hamdulillah, al syukru lillah dan sebangsanya, maka sebaiknya kita mulai merubah pemahaman ini. Nomenklatur syukur dalam doktrin-normatif Islam tidak dipahami seperti itu. Syukur bukan lah rentetan kata yang diulang-ulang dan terkesan formalistis. Dengan begitu menjadi jelas mengapa Allah SWT mewahyukan "Wa qalilun min ibadi al syakur" (Artinya; " Sedikit sekali hamba-hambaku yang bersyukur”). Syukur yang merupakan salah satu bentuk prinsip ubudiyyah manusia adalah menggerakkan seluruh nikmat yang dikaruniakan Allah SWT untuk hal-hal yang diperintahkannya. Mensyukuri kesehatan adalah menggerakkan seluruh aktifitas menuju amaliyah-amaliyah yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Allah SWT telah memberikan kepada kita nikmat harta yang mencukupi, rumah yang nyaman, pendidikan yang baik, keturunan yang menakjubkan dan lain sebagainya, semua harus diolah dalam rangka kebaikan yang diridloi Allah SWT.
Syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat harta yang melimpah menghalangi kita untuk bermewah-mewahan, bermegah-megahan sehingga tidak ada pintu masuk untuk kekayaan kita kecuali mentasarrufkannya ke arah kebaikan. Semua ini memerlukan kesabaran. Sabar dengan begitu harus ada dalam kondisi nikmat dan begitu juga dalam kondisi ujian. Itu lah kenapa sabar menempati posisi yang lebih utama daripada syukur.Di atas itu semua, manusia adalah mahluk yang lemah sebagaimana tegas diungkapan dalam sitiran surat Al Nisa ayat 28 yang berbunyi "Wa khuliqa al insanu dla'ifa" (Artinya; dan manusia dijadikan bersifat lemah). Sedangkan senada dan sejalur dengan itu difirmankan ayat Al Nahl ayat 27 yang berbunyi "Wa ma Shobruka illa billah" (Artinya; "Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah"). Sekilas ayat ini terkesan kontradiktif. Bagaimana mungkin Allah SWT memerintahkan mahluknya bersabar tapi pada hakikatnya hanya Allah SWT sendiri lah yang menjadikan mahluknya sabar?Jawabannya adalah karena manusia pada hakikatnya mahluk yang lemah. Karena kelemahannya ini lah manusia diharapkan kembali, berlindung dan berharap kepada Allah SWT. Allah SWT memerintahkan tetapi kenyataannya kita banyak meninggalkan, Allah SWT melarang tetapi kita sebegitu sering melanggar, maka tidak ada jalan lain kecuali kita menyusun kekuatan untuk mengadu dan bersandar kepada Allah SWT sebagai tempat kembali.
Semakin kita mendekat, mengadu dan memohon sebagai ekspres ikrari ubudiyyah dan pengakuan kedla’ifan manusia, kita akan semakin dekat dengan kemampuan untuk melakukan semuanya berkat pertolonganNya. Kita perlu sejenak merenungkanr kenapa ayat "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" diulang dan diulang setiap hari lima kali. Lafald ‘na’budu’ dan ‘nasta’inu” tiidak lain untuk mengingatkan dan menekankan aspek ubudiyyah dan kedla’ifan manusia. Bahwa manusia adalah mahluk yang lemah sehingga tidak mungkin ia bersandar hanya pada dirinya sendiri. Fittrah manusia membutuhkan sandaran teologis dan treansenden sebagai manifestasi hakikat kemanusiaannya. Diharapkan pada momen sembahyang itu, manusia mengikrarkan diri atas segala kedlaifan mengatasi hidup baik pada level individu maupun sosial. #

1 komentar:

robet jember mengatakan...

Nis, Gaya saiki wis koyok kyai tenanan,rek. Alim puol. Biasane omongane membongkar tradisi, menjebol turats, menghancurkan status quo.HE he

KONSULTASI

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr wb.

Redaksi yang saya hormati, Anak saya sholatnya berling dan berani sama orang tua. Saya sudah sering menasehatinya tetapi tidak ada perubahan. Apakah di hari akhir nanti masih dipertanggungjawabkan.

Wassalamu'alaikum wr wb (Bpk. M Arif . 08532802xxxx)

Jawaban:

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Bapak Arif yang saya hormati, sebelumnya kami ucapkan terimakasih atas partisipasi Bapak dalam forum ini. Tugas orang tua adalah mendidik dan membesarkan Anak. Apabila anak lalai sudah seharusnya orangtua mengingatkan dan menasehati. Akan tetapi kalau ternyata anak tidak berubah juga, maka sepatutnya kita jangan pernah berputus asa dan terus menasehati. Sedangkan mengenai pertanggungjawaban dosa di akherat nanti adalah urusan tiap pribadi muslim. Dan dosa anak anda yang menanggung adalah dia sendiri. Firman Allah swt : “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)." (QS. Fathiir: 18). Jadi kita jangan pernah menyerah untuk selalu menasehati saudara muslim kita yang lalai untuk kembali ke jalan yang benar. Demikian, semoga membantu.

Wassalamu'alaikum wr wb.

(Apabila Anda ingin bertanya atau berkonsultasi, silahkah kirim pertanyaan anda ke Redaksi atau SMS ke 085228205221)